buku #sebingkai cerita

Pagi merangkak. Udara basah. Langit hening. Surya belum juga singgah di bibir kota. Kulipat sajadah yang rebah. Sejenak Aku membaca bingkai cerita yang telah menjelma kenangan, kini menyatu dengan guguran daun akasia, yang pula larut pada sisa genangan air hujan di trotoar jalan menuju rumah tuhan.

Seulas senyum tersuguh pada sebingkai jendela kamar. Kini, ada bening telaga yang mengaliri tubuh.

“Ti, hari ini aku akan ke sana…” gumamku.
http://nulisbuku.com/books/view/sebingkai-cerita

Lara #1

Lama aku, memperhatikan, merasakan. jelas sedih menyemat di binar matanya yang temaram. ia tulus, ya, itu tercium dari jarak pandangku yang berpuluh senti darinya.Kulihat lagi, bening masih melandai di pipinya yang bersemu merah, pucat. masih kudengar, suaranya yang lembut itu tlah parau, wajah yang tenang itu kini keruh.ingin benar kususut sedihnya, sungguh! meski untuk itu bahuku akan sering basah.
 
“lara…”

Pada suatu senja #1

Isya di beranda mesjid tua di sudut kota, kita menunggu rintik gerimis reda. duduk di tepi teras, dekat dengan beduk. sambil mengeja garis-garis putus yang jatuh dari langit, seraya menghirup aroma basah daun-daun….

“Ti, setelah ini kita… ke mana lagi?”
ia menatap. lekat. menempelkan telunjuk ke bibirnya, berfikir, menerawang. binar matanya menembus jeruji gerimis.

“tau gak pak raden? aku kangeen, dia tokoh favoritku…” katanya setengah merengek. aku tersenyum dan menggeleng.
hening.
“aku tahu rumah pak raden!”
mata itu berkilat-kilat. bening.
“beneran?”
“kita bisa ke sana sekarang?”
“aiiih, beneraaan?” serunya setengah berteriak.
” kek mana?”
tanganku mengeluarkan laptopnya dan segera mengajaknya ke sini:
” nah, kita sampai” (http://pakraden.org/)
ia tersenyum. jenaka. ada yang panas di lengan-seperti digigit semut.